Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan
nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa:
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung
implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan
belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam
penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan
yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar
belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah
dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun
1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib
belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan
pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan
secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan
nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel
1984 secara resm'l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan
pendidikan wajib belajar.
Pada tahap im penyelenggaraan pendidikan wajib belajar
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib
belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih
diarahkan kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera (illaksanakannya gerakan
pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak
usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat
sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7-12 tahun
yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib
belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang
lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya
keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencanturnkan
rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN
1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984 dipandang
sebagai 9
pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan
prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945
segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan
wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD
dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal
ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional,
kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No: 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34
sebagai berukut:
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus
berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar,
pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur
sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar
pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program
pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting
dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun
menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi
pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk
membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan
aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk
mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan
kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan
untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk
belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia
kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur
lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional
memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan
juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal
5 ayat 1 dan 5).
Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional,
mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang
serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
(pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar
9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003:
11).
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di
Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) ddak ada
sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4)
keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin
menmigkat.
Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan
yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun
bag, semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:
1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992
hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat
Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan
negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2. Dan' sudut pandang kepentingan ekonorm', pendidikan,
dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang
dapat member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan
rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka dapat memperluas
wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih beranekaragam
(diversified).
3.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka
semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi
dalam sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor industri.
4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia
wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang
lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan
meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar peluang
yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna
hidupnya.
5.Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun,
maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun
menjadi 15 tahun.
Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi
dicanangkan program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang
dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai peningkatan
kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada diri
individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan,
keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan
produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai
lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar