Pada saat
kita dihadapkan pada kenyataan banyak siswa yang tidak siap mengikuti UAN,
kekerasan (bullying) yang dilakukan anak-anak kini kian marak diperbincangkan.
Anak yang menjadi kebanggaan orang tua dapat menjadi korban dan pelaku
kekerasan dalam dunia pendidikan. Sudah lama kita menyadari dampak negatif
informasi yang belum saatnya diterima anak. Walaupun demikian, tetap saja
kekerasan yang dilakukan anak-anak terhadap temannya terus terjadi pada
lingkungan sekolah.
Dengan melihat tayangan gulat (smack down) di layar televisi, anak-anak pun
dengan gampangnya meniru adegan tersebut layaknya seorang pegulat professional.
Banyak anak menganggap adegan tersebut sebagai hal yang wajar dan layak
dilakukan. Tanpa bimbingan orang dewasa, bisa dibayangkan berapa banyak nyawa
anak-anak kita yang akan melayang setelah bersmack down ria dengan teman
sepermainannya.
Ironisnya, dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat anak mengembangkan
kognitif, emosional, sosial, fisik, dan akhlak sekilas tampak gagal dalam
mengoptimalkan potensi anak. Ditambah lagi ketakutan para siswa SMA dalam
menghadapi UAN. Kecenderungan ini terlihat jelas ketika kita dihadapkan pada
kenyataan banyaknya siswa yang tidak lulus dan penolakan sebagian siswa
terhadap UAN itu sendiri.
Ketakutan para siswa menghadapi UAN dan maraknya kekerasan yang dilakukan
anak-anak dilingkungan sekolah bisa jadi merupakan ketidaksiapan anak secara
intelegensia/kognitif, emosional, sosial, fisikal, dan spiritual. Perhatian
terhadap kecerdasan intelektual anak belumlah cukup tanpa diikuti perhatian
terhadap kecerdasan emosional, spiritual, sosial dan kemampuan memecahkan
masalah (adversity) si anak itu sendiri.
Melihat fakta-fakta diatas, sudah selayaknya pemerintah memperhatikan kembali
pendidikan dasar 9 tahun yang semakin kurang relevan terhadap tuntutan jaman globalisasi
seperti sekarang ini. Bukankah jaman juga memiliki peran penting dalam
menentukkan sistem pendidikan?
Pada jaman globalisasi seperti sekarang ini, industrialisasi dan pesatnya
informasi yang berkembang memegang peranan penting terhadap kualitas hidup
seseorang. Belum lagi persaingan dan tekanan yang ditimbulkan serta
ketidaksiapan menjalani hidup menjadi pergumulan yang tiada berujung. Tanpa
diikuti dengan kematangan intelegensia, emosional, sosial, fisik, dan akhlak
sebagai pedoman pribadi, segala informasi akan dengan mudah diterima anak-anak
sebagai kebenaran yang hakiki. Tak ayal, segala kekerasan yang terlihat di
layar televisi pun kini menjadi konsumsi dan kian dimanipulasi anak-anak itu
sendiri. Apakah ini produk jaman yang dihasilkan? Penerus-penerus bangsa yang
tidak siap menghadapi tantangan jaman?
Hal-hal tersebut diatas sebenarnya dapat dihindari dengan mengoptimalkan
potensi anak sejak dini. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat membantu dalam
mendukung wajib belajar 9 tahun. Anak-anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat
perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak
mulai dibentuk. Penelitian terhadap PAUD menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan
keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan
pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.
Perhatian Khusus Terhadap Anak
Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini
dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu
asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini
sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi
ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.
Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan
menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan
potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus
diperhatikan terkait dengan perkembangan anak itu sendiri:
1. Perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik
anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.
2. Perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca
indra dalam mengumpulkan informasi.
3. Perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap
rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan
kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan.
4. Perkembangan Kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan
bertindak.
5. Perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam
situasi dan kondisi tertentu.
6. Perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi,
relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.
Fase Pertumbuhan
Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase
pertama mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini
merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia
sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami
pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia
sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan
menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan
antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6
bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar
berjalan dan mulai belajar berbicara.
Fase kedua terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar
terutama sekali dengan berbagai macam permainan, dan bahasa. Dunia sekitarnya
dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya.
Binatang-binatang diberikanya sifat-sifat dan kesanggupan seperti dirinya
sendiri. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah
menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.
Fase ketiga terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak
masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat
melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang
menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab
terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam
hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan
disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit.
Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.
PAUD dan Kendala Umum
Pendidikan dasar 9 tahun haruslah didahului dengan PAUD. Pendidikan yang
diberikan sebelum memasuki sekolah dasar merupakan salah satu alternatif yang
harus dikembangkan dalam mempersiapkan anak menuju wajib belajar 9 tahun.
Pendidikan dan perhatian terhadap anak pada usia 0-6 tahun sangat membantu
perkembangan sosial, emosi, fisik, dan kognitif anak. Studi memperlihatkan
bahwa anak-anak yang mendapatkan perhatian khusus lebih awal menunjukan
pencapaian akademis yang lebih baik pada saat mengenyam pendidikan formal
disekolah begitu juga dalam memahami pribadinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya.
Sebelum memasuki pendidikan formal di bangku sekolah dasar, anak-anak perlu
disosialisasikan di bangku prasekolah. Persiapan ini bisa merupakan pendidikan
formal (TK), nonformal (TPA & KB), maupun informal (Keluarga). Ini sangat
diperlukan untuk mengoptimalkan potensi anak pada tingkat pendidikan
selanjutnya dan dalam hidup bermasyarakat. Kebijakan yang diambil dapat berupa
PAUD plus wajib belajar 9 tahun.
Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan
perawatan melalui PAUD masih sangat terbatas dan tidak merata. Dari sekitar
28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan
PAUD. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk anak usia 5-6
tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau
sekitar 32,36 %) yang memperoleh layanan pendidikan di TK. Anak-anak yang
memperoleh kesempatan PAUD tersebut umumnya berasal dari keluarga mampu di
daerah perkotaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga
miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan PAUD secara
proporsional.
Kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih jauh dibawah standar
kehidupan layak merupakan kendala lain dalam meningkatkan akses PAUD. Untuk
mendapatkan pelayanan ini masyarakat harus mengalokasikan sejumlah dana yang
mungkin tidak sedikit. Banyak pendidikan prasekolah yang memberi perhatian
terhadap anak seperti High Scope dan Montessori, namun tidak semua lapisan
masyarakat bisa menikmatinya karena kemampuan ekonomi keluarga yang minim.
Selain itu kendala berikutnya adalah kurangnya pengetahuan orang tua. Sebagian
besar orang tua tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak
pada usia 0-6 tahun. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang
tua menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang.
Pemerintah memang sejak awal melindungi hak anak mendapatkan layanan
pendidikan. Ini terbukti pada pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur PAUD, namun implementasinya
dilapangan masih jauh dari apa yang diharapkan, contohnya: tidak meratanya
jumlah lembaga pendidikan atau program layanan pendidikan anak usia dini,
fasilitas yang minim, lemahnya mutu pendidikan, dan minimnya guru PAUD yang
berkualitas.
Lembaga yang sudah ada pun hanya berstatus lembaga swasta dengan biaya yang
relatif mahal dan didominasi oleh kota-kota besar saja, sehingga tidak semua
lapisan masyarakat dapat menikmati layanan ini. Selain itu, lembaga pendidikan
tersebut tidak memiliki program yang terstruktur, dalam arti tidak adanya
keterpaduan antara mutu pendidikan yang berkualitas dengan guru yang terlatih,
layanan gizi, perawatan dan pengasuhan kesehatan yang minim. Tak heran jika
tingkat pengembangan sumber daya manusia (HDI) kita hanya berada di peringkat
110 dari 173 negara. Singkat kata, lembaga pendidikan usia dini harus segera
mendapat prioritas dari pemerintah, tidak hanya dari pengadaan sarana, tapi
juga kurikulum, kualitas pengajaran, sosialisasi yang optimal, fasilitas dan
lingkungan belajar yang baik serta program yang terstruktur.
Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB)
Desentralisasi pendidikan mutlak diperlukan sehingga dapat diakses seluruh
lapisan masyarakat Indonesia, baik kaum marginal sekalipun. Mengingat akses
PAUD Formal yang terbatas dan tidak merata, pemerintah harus lebih
menitikberatkan peningkatan mutu layanan PAUD Nonformal baik ditingkat
propinsi, kota, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan. Diharapkan setiap kota
dan kabupaten memiliki Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB)
sendiri sebagai upaya peningkatan PAUD Nonformal yang pengelolaannya dapat
diserahkan kepada pemerintah setempat, lembaga keagamaan, komunitas masyarakat
lokal, maupun organisasi swasta dan publik non-profit.
KB maupun TPA dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan potensi anak sejak dini. KB
dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan TPA dan Satuan PAUD Sejenis
dapat diikuti anak sejak lahir maupun usia tiga bulan. TPA dan KB itu sendiri
sendiri harus dibawah pengawasan Pemerintah Propinsi. Tentu saja pemerintah
propinsi akan berkordinasi kepada Pusat PAUD Nasional dalam rangka
mengoptimalkan kualitas pengajaran, lingkungan belajar, tenaga pendidik,
kurikulum dan pembelajaran yang berkualitas. Pemerintah pusat dapat membuat
kebijakan satu atap, misalnya: kurikulum Pendidikan Bermain yang menggunakan
pendekatan simulasi dan pendekatan holistik terhadap perkembangan fisik,
intelegensia/kognitif, emosional dan pendidikan sosial.
Kebijakan ini juga harus mengatur proses pembelajaran yang berkualitas yang
didasarkan pada kesatuan konsep bahwa anak-anak mulai belajar sejak usia 0+
tahun, interaksi bersahabat yang berpusat pada anak itu sendiri, fokus terhadap
optimalisasi dan pengembangan potensi anak dengan cara bermain dengan
obyek-obyek kongkrit, permainan manipulasi dan interaksi dengan lingkungan
sekitarnya.
Kurikulum Pendidikan Bermain PAUD Nonformal
Belajar adalah proses panjang yang dimulai sejak kelahiran sampai kematian.
Selama masa hidupnya seseorang terus mencari dan mengumpulkan segala
pengetahuan, kecakapan hidup, sikap, dan masukan-masukan dari pengalaman
sehari-hari dan lingkungan sekitar. Pada saat bekerja, dirumah dan bermain
manusia sebenarnya masih berada dalam tahap pembelajaran begitu juga dengan anak-anak.
Fun education harus menjadi patokan segala proses pembelajaran anak. Anak
dibangkitkan minatnya melalui hal-hal yang menyenangkan. Dengan bermain
anak-anak dapat memiliki kesempatan mengeksplorasi, memanipulasi dan
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Bermain dapat menumbuhkan minat
anak-anak dalam menghasilkan, menemukan, dan menyelidiki segala hal yang belum
mereka ketahui yang pada akhirnya memberikan kesempatan kepada anak untuk
memahaminya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Aktifitas ini pada akhirnya
menantang anak mengetahui hal-hal baru dan memahami kejadian-kejadian, orang
lain, dan lingkungan sekitar dengan cara berinteraksi dengan obyek-obyek yang
konkrit.
Bermain merupakan bagian yang penting dan khusus pada masa kanak-kanak. Aktifitas
tersebut dapat membimbing anak bereksperimen dengan dunia sekitar dan
berhubungan dengan emosi yang ada dalam dirinya. Bagi kebanyakan orang tua,
aktifitas ini sepintas terlihat sebagai satu permainan anak saja, namun banyak
manfaat yang tersirat dibalik itu semua seperti kemampuan mengembangkan
pemahamannya, menyelesaikan masalah dan mengatasi tantangan fisik serta mental
dan lain sebagainya.
Bermain dengan obyek-obyek buatan di TPA dan KB dapat membantu anak membangun
kepercayaan diri, menumbuhkan pembelajaran mandiri, dan memantapkan konsep
pribadi. Hal tersebut sangat penting bagi perkembangan motorik, mata dan tangan
anak-anak karena mereka dapat bermain dengan benda-benda alami disekitarnya.
Pasir, lumpur, maupun tanah liat dan air memiliki peran penting disini.
Memberikan waktu bagi anak-anak bermain sendiri membuatnya semakin percaya
diri.
Sebagai orang dewasa, kita dapat memasuki kehidupan imaginasi dan fantasinya
dan membiarkan mereka sebagai pusat yang mengontrol segalanya. Hal tersebut
dapat menumbuhkan kepercayaan diri, kenyamanan, dan perasaaan aman ketika
berada didekat kita. Biasanya orang tua cenderung menaruh perhatian terhadap
moral dan pencapaian pribadi ketika bersama mereka. Ketika anak menyadari bahwa
kita juga tertarik menghargai caranya bermain dan bersenang-senang, anakpun
akan semakin lebih percaya diri. Ini akan menumbuhkan kesadaran untuk
menyelidiki arti persahabatan dengan orang lain.
Menaruh perhatian khusus terhadap anak sejak usia dini dapat membantu
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa, serta kemampuan awal
membaca dan menulis dengan cara bermain dan bersenang-senang. Anak juga mulai
dapat mengembangkan kemampuan dasar berhitung, hal-hal konseptual dan kognitif
serta konsep-konsep dasar ilmu alam dan pengetahuan teknis lainnya. Beberapa
hal penting dapat mereka peroleh pada saat bermain seperti kemampuan memahami
budaya dan seni, kemampuan memahami mahkluk hidup dan lingkungan sekitar,
bangkitnya kesadaran terhadap kesehatan lingkungan, olahraga dan rekreasi.
Perluasan Fasilitas PAUD Nonformal
Sarana penunjang yang tak langsung ikut berpengaruh terhadap pendidikan usia
dini juga agar menjadi perhatian, misalnya: posyandu karena anak-anak diusia
dini harus diperhatikan cakupan gizinya yang berfungsi sebagai nutrisi
pertumbuhan. Sarana kesehatan seperti posyandu sangat berpengaruh terhadap
peningkatan gizi anak karena gizi mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Jika
anak mendapatkan gizi yang buruk maka berisiko kehilangan IQ 13-20 poin. Kini
jumlah anak yang kekurangan gizi mencapai 1,3 juta, berarti potensi kehilangan
IQ anak di negara ini 22 juta poin.
Pemerintah daerah harus memperluas berbagai fasilitas yang mendukung lingkungan
pembelajaran berkualitas bagi anak usia dini sehingga dapat dinikmati setiap
masyarakat di wilayahnya masing-masing. Pendidikan anak usia dini dapat
berjalan baik jika semua pihak dapat saling bekerja sama. Sebab, pendidikan
usia dini adalah modal dasar membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas
yang diharapkan mampu bersaing dengan bangsa lain.
Partisipasi Lembaga Keagamaan
Pendekatan terhadap lembaga keagamaan juga perlu dilakukan. Pemerintah daerah
dapat memberi perhatian khusus terhadap Taman Pendidikan Alquran yang dikelola
pemuda masjid dan gerejapun dapat turut serta mengembangkan program Sekolah
Minggu bagi anak-anak yang dikelola muda-mudi gereja. Diharapkan TPA dan KB
dapat dibentuk dan dikelola lembaga keagamaan itu sendiri sebagai perwujudan
sosial bagi umatnya.
Partisipasi Organisasi Publik dan swasta Non-Profit
Dengan pendekatan partnership/rekanan, peran organisasi publik dan swasta
non-profit yang terkait dan berperan dalam pemberdayaan masyarakat seperti
organisasi pemberdayaan perempuan, keluarga atau anak dapat diberdayakan
sebagai tempat memberikan pendidikan, sosialisasi dan informasi tentang
pentingnya PAUD kepada komponen-komponen yang paling berpengaruh seperti para
orang tua dan masyarakat karena keluarga dan masyarakat sangat berperan penting
dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Keluarga dan masyarakat harus dapat memberikan contoh yang baik karena pada
dasarnya seorang anak akan senantiasa mengikuti dan mencontoh orang-orang di
sekitarnya. Orang tua pun harus mengembangkan potensi diri dengan cara
memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi melalui media masa ataupun media
elektronik terutama informasi dan ilmu pengetahuan terkini, sehingga orang tua
bisa menjadi tempat bertanya yang baik bagi anak mereka.
Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut dalam
menghasilkan guru-guru PAUD Nonformal yang berkualitas. Guru-guru ini pada
akhirnya harus diarahkan untuk terjun langsung mengawasi dan memberi pengarahan
terhadap pendidik dan administrasi pendidikan TPA dan KB yang dikelola mandiri
oleh lembaga keagamaan maupun komunitas masyarakat. Tentu saja, untuk meraih
ini semua organisasi rekanan harus menekankan kapasitas pendidik dan pengelola
pendidikan untuk memfasilitasi dan mempromosikan pengembangan PAUD Nonformal
pada tingkat lokal.
Partisipasi Komunitas Masyarakat
Sekolah rumah/home schooling tunggal juga harus diberdayakan. Sekolah rumah
tunggal dapat dikelola para orang tua yang tentu saja berbeda denga PAUD
Informal karena ditingkat ini, para orang tua sudah mulai memikirkan berbagai
macam pendekatan pembelajaran yang berkualitas.
Sekolah rumah majemuk melibatkan seluruh anggota keluarga misalnya kakak, paman
maupun anggota keluarga yang lain. Pendekatan pendidikannya tidak jauh berbeda
dengan sekolah rumah tunggal.
Gabungan sekolah rumah di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun kelurahan
melibatkan komunitas sekolah rumah yang terdiri dari gabungan beberapa sekolah
rumah tunggal dan majemuk ditingkat lokal. Dengan memberikan perhatian khusus
terhadap pentingnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal ditingkat
lokal, maka seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan yang murah
tanpa harus mengabaikan arti pendidikan itu sendiri.
Akhirnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal diharapkan dapat
mendukung wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dengan mengoptimalkan potensi
anak sejak dini maka anak juga semakin siap memasuki pendidikan sekolah dasar,
menengah, dan atas yang tentu saja memberi nilai tambah terhadap keyakinan,
kematangan emosi, dan kemampuan kognitif para siswa menghadapi UAN serta
menghilangkan kekerasan yang dilakukan anak (bullying) terhadap teman
sepermainanya.
Perluasan akses dan mutu pelayanan PAUD Nonformal sejenis TPA dan KB harus
dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, baik kalangan atas, menengah,
bawah maupun kaum marginal sekalipun. Bukankah pemerintah telah mendukung hal
tersebut. Lihat saja Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak. Seperti
yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): "Pemerintah bertanggung
jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau
pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak
yang bertempat tinggal di daerah terpencil". Selamat berkarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar